Rabu, 28 November 2012

Cerita Humor : Hai Istri, Cegahlah Korupsi

Hai Istri, Cegahlah Korupsi



 
Oleh; Abdul Wahid, Dekan Fakultas Hukum Ilmu Hukum Unisma Malang

Ditemukan sejumlah rekening istri digunakan sebagai rekening “titipan” para suami oleh para suami yang terlibat atau diduga melakukan penyimpangan kekuasaan seperti dalam lingkaran kasus gurita korupsi pajak belakangan ini. Setidaknya publik bisa memberikan konklusi, bahwa apa yang dilakukan oleh para suami, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin (impossible) diketahui istrinya.
Istri layak dianggap tahu atas apa yang dilakukan suaminya. Istri bukan “orang kedua” dalam keluarga, tetapi sebagai pilar strategis di samping suaminya. Otomatis apa yang dilakukan suami, juga diketahui istri. Atau setidak-tidaknya, apa yang diperbuat oleh suami, istri tidak sulit untuk membaca dan memahaminya.
Istri memang bisa saja mengelak, jika apa yang diperbuat suaminya di luar atau di lokasi kerjanya (kantor), merupakan realitas kehidupan lelaki, yang tidak selalu diketahui dan dipahami oleh istrinya. Akan tetapi, ini bisa terbantahkan dengan kondisi semakin cerdasnya dan mapannya kedudukan perempuan (istri), apalagi dikaitkan dengan pekerjaan dan penghasilan masing-masing pihak.
Selain itu, apa yang dilakukan suami yang terlibat korupsi, yang sebagian kekayaannya dari korupsi, berelasi dengan “rekening titipan” dari suami, mengindikasikan kalau apa yang dilakukan suaminya, tidak sulit untuk diduga oleh istrinya sebagai perbuatan “ganjil” yang layak dipertanyakan dan bukannya dibiarkan atau didukung.
Dalam kasus Gayus dan Bahasyim, istri kedua orang ini “diseret” dalam urusan penerapan sistem peradilan pidana akibat dalam rekening keduanya diasumsikan oleh aparat penegak hukum menjadi “rekening titipan” penyalahgunaan kekuasaan.
Kasus itu seolah menjadi gugatan terhadap istri pejabat Indonesia pada umumnya, bahwa apa yang dilakukan oleh suami merupakan cermin keinginan dan kepentingan istri.
Seharusnya suami mampu menunjukkan sikap tegas untuk kebenaran di hadapan istri dan anak-anaknya. Suami berkewajiban menginformasikan segala sumber pendapatan yang diperolehnya dengan segala keterbatasan (kekurangan), dan bukannya memaksakan diri mengikuti tuntutan kepentingan keluarga di luar kekuatannya.
Kekuasaan (jabatan) yang dipercayakan oleh negara kepadanya ditunjukkan kepada keluarga (istri) dengan bahasa kesederhanaan, kebersahajaan, atau kesantunan.
Dalam buku Kholil F Munawar berjudul Perempuan dan Kekuasaan (2006), diingatkan, bahwa dari perempuan, indahnya hidup berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara bisa dinikmati. Namun dari perempuan pula, buramnya hidup kerkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara bisa dirasakan. Lelaki bisa berjaya memimpin dan melabuhkan negeri berkat dukungan perempuan, dan lelaki bisa menghancurkan negara, tak lepas dari pengaruh perempuan.
Asal Uang Suami
Model kekuasaan koruptif atau berpenyakitan yang dibangun atau digelar oleh suami, identik dengan pengaruh hegemonitas atau segmentasitas yang dilakukan oleh istrinya, manakala suami gagal memainkan dirinya sebagai pemegang amanat negara. Saat istri menunjukkan atau memproduk beragam kepentingan (keinginan) yang ditembakkan kepada suaminya, maka apa yang dilakukan oleh “suami-suami takut istri” ini merupakan bahasa lain dari kepentingan istrinya.
Tidak ada maksud menggeneralisasi, kalau perempuan menjadi yang “tersalah” atau absolut dipersalahkan (dikriminalisasikan) berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh suami. Akan tetapi, setidaknya apa yang dilakukan oleh suami yang berkolaborasi dengan istrinya melalui sejumlah rekening pencucian kejahatan (money laundering), dapat menyadarkan para istri di negeri ini untuk mengaudit atau mengevaluasi kinerja publik suaminya.
Kalau apa yang dilakukan oleh suami itu dibiarkan berjalan seperti layaknya pekerjaan normal atau kegiatan logis, alias dibiarkan oleh istri, maka sikap yang dilakukannya ini tak ubahnya memberikan tempat bagi suami untuk melakukan korupsi secara berkelanjutan dan besar-besaran. Istri punya kewajiban, di samping hak yang melekat pada dirinya, untuk mengajukan hak berpendapat pada suaminya tentang asal muasal uang yang diperoleh suaminya.
Bukankah konstruksi rumah tangga atau hidup berkeluarga sejak awal dibangun untuk saling setia, jujur, dan transparan? Kesakralan keluarga sangat ditentukan oleh kesakralan harta yang diperoleh suami atau istri.
Semestinya istri tidak sulit untuk membacanya dengan cerdas bahwa profesi atau jabatan suaminya di kantor dengan segala macam aktivitasnya (yang berpenghasilan) secara normal, tak akan mungkin bisa mendatangkan pendapatan bermiliar-miliar rupiah, apalagi kalau suami ini masih terbilang sebagai pejabat atau pegawai golongan “tanggung” dan rendahan.
Katakanlah suami ini masih golongan III-a, maka jelas pendapatannya masih pas-pasan atau sedikit cukup jika dikaitkan dengan besarnya tingkat kebutuhan hidup sehari-hari di metropolitan. Kalau hanya dari golongan ini, ternyata uang yang dibawa pulang miliaran rupiah, tentulah menyuratkan “keganjilan” yang layak dievaluasi.
Melihat suaminya yang masih berposisi dan berpenghasilan seperti itu, istri idealnya menunjukkan jati diri sebagai mitra keluarga yang sejak dini memerankannya menjadi penentu “surga” dalam kehidupan domestik maupun publiknya.
Dalam ranah domestik, istri bisa menemani atau mendampingi suami untuk mendialogkan peran-peran secara objektif, normal, dan jujur di rumah, termasuk besaran pendapatan riil yang diperoleh suaminya. Sementara dalam ranah publik, istri ikut memerankan diri saat berkumpul dengan para istri elemen struktural lainnya untuk bersama-sama mencegah atau memonitor suaminya dari kemungkinan (kecenderungan) melakukan penyimpangan kekuasaan.
Kalau istri bisa memaksimalkan perannya, maka kinerja aparat penegakan hukum yang selama ini dinilai oleh publik tidak cukup ampuh untuk melawan korupsi atau bahkan dituding menjadi biang kerok maraknya korupsi, dapat dimainkan oleh istri. Kaum hawa ini akan menunjukkan perannya sebagai “pengawal” domestik yang membuat suaminya kecil nyali melakukan penyimpangan kekuasaan.
Editor: IC
Sumber: Surya Online, 14/4/10

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template