Hai Istri, Cegahlah Korupsi
Oleh; Abdul Wahid, Dekan Fakultas Hukum Ilmu Hukum Unisma Malang
Ditemukan sejumlah rekening istri digunakan sebagai rekening
“titipan” para suami oleh para suami yang terlibat atau diduga melakukan
penyimpangan kekuasaan seperti dalam lingkaran kasus gurita korupsi
pajak belakangan ini. Setidaknya publik bisa memberikan konklusi, bahwa
apa yang dilakukan oleh para suami, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin
(impossible) diketahui istrinya.
Istri layak dianggap tahu atas apa yang dilakukan suaminya. Istri
bukan “orang kedua” dalam keluarga, tetapi sebagai pilar strategis di
samping suaminya. Otomatis apa yang dilakukan suami, juga diketahui
istri. Atau setidak-tidaknya, apa yang diperbuat oleh suami, istri tidak
sulit untuk membaca dan memahaminya.
Istri memang bisa saja mengelak, jika apa yang diperbuat suaminya di
luar atau di lokasi kerjanya (kantor), merupakan realitas kehidupan
lelaki, yang tidak selalu diketahui dan dipahami oleh istrinya. Akan
tetapi, ini bisa terbantahkan dengan kondisi semakin cerdasnya dan
mapannya kedudukan perempuan (istri), apalagi dikaitkan dengan pekerjaan
dan penghasilan masing-masing pihak.
Selain itu, apa yang dilakukan suami yang terlibat korupsi, yang
sebagian kekayaannya dari korupsi, berelasi dengan “rekening titipan”
dari suami, mengindikasikan kalau apa yang dilakukan suaminya, tidak
sulit untuk diduga oleh istrinya sebagai perbuatan “ganjil” yang layak
dipertanyakan dan bukannya dibiarkan atau didukung.
Dalam kasus Gayus dan Bahasyim, istri kedua orang ini “diseret” dalam
urusan penerapan sistem peradilan pidana akibat dalam rekening keduanya
diasumsikan oleh aparat penegak hukum menjadi “rekening titipan”
penyalahgunaan kekuasaan.
Kasus itu seolah menjadi gugatan terhadap istri pejabat Indonesia
pada umumnya, bahwa apa yang dilakukan oleh suami merupakan cermin
keinginan dan kepentingan istri.
Seharusnya suami mampu menunjukkan sikap tegas untuk kebenaran di
hadapan istri dan anak-anaknya. Suami berkewajiban menginformasikan
segala sumber pendapatan yang diperolehnya dengan segala keterbatasan
(kekurangan), dan bukannya memaksakan diri mengikuti tuntutan
kepentingan keluarga di luar kekuatannya.
Kekuasaan (jabatan) yang dipercayakan oleh negara kepadanya
ditunjukkan kepada keluarga (istri) dengan bahasa kesederhanaan,
kebersahajaan, atau kesantunan.
Dalam buku Kholil F Munawar berjudul Perempuan dan Kekuasaan (2006),
diingatkan, bahwa dari perempuan, indahnya hidup berkeluarga,
bermasyarakat, dan bernegara bisa dinikmati. Namun dari perempuan pula,
buramnya hidup kerkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara bisa dirasakan.
Lelaki bisa berjaya memimpin dan melabuhkan negeri berkat dukungan
perempuan, dan lelaki bisa menghancurkan negara, tak lepas dari pengaruh
perempuan.
Asal Uang Suami
Model kekuasaan koruptif atau berpenyakitan yang dibangun atau
digelar oleh suami, identik dengan pengaruh hegemonitas atau
segmentasitas yang dilakukan oleh istrinya, manakala suami gagal
memainkan dirinya sebagai pemegang amanat negara. Saat istri menunjukkan
atau memproduk beragam kepentingan (keinginan) yang ditembakkan kepada
suaminya, maka apa yang dilakukan oleh “suami-suami takut istri” ini
merupakan bahasa lain dari kepentingan istrinya.
Tidak ada maksud menggeneralisasi, kalau perempuan menjadi yang
“tersalah” atau absolut dipersalahkan (dikriminalisasikan) berkaitan
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh suami. Akan tetapi,
setidaknya apa yang dilakukan oleh suami yang berkolaborasi dengan
istrinya melalui sejumlah rekening pencucian kejahatan (money
laundering), dapat menyadarkan para istri di negeri ini untuk mengaudit
atau mengevaluasi kinerja publik suaminya.
Kalau apa yang dilakukan oleh suami itu dibiarkan berjalan seperti
layaknya pekerjaan normal atau kegiatan logis, alias dibiarkan oleh
istri, maka sikap yang dilakukannya ini tak ubahnya memberikan tempat
bagi suami untuk melakukan korupsi secara berkelanjutan dan
besar-besaran. Istri punya kewajiban, di samping hak yang melekat pada
dirinya, untuk mengajukan hak berpendapat pada suaminya tentang asal
muasal uang yang diperoleh suaminya.
Bukankah konstruksi rumah tangga atau hidup berkeluarga sejak awal
dibangun untuk saling setia, jujur, dan transparan? Kesakralan keluarga
sangat ditentukan oleh kesakralan harta yang diperoleh suami atau istri.
Semestinya istri tidak sulit untuk membacanya dengan cerdas bahwa
profesi atau jabatan suaminya di kantor dengan segala macam aktivitasnya
(yang berpenghasilan) secara normal, tak akan mungkin bisa mendatangkan
pendapatan bermiliar-miliar rupiah, apalagi kalau suami ini masih
terbilang sebagai pejabat atau pegawai golongan “tanggung” dan rendahan.
Katakanlah suami ini masih golongan III-a, maka jelas pendapatannya
masih pas-pasan atau sedikit cukup jika dikaitkan dengan besarnya
tingkat kebutuhan hidup sehari-hari di metropolitan. Kalau hanya dari
golongan ini, ternyata uang yang dibawa pulang miliaran rupiah, tentulah
menyuratkan “keganjilan” yang layak dievaluasi.
Melihat suaminya yang masih berposisi dan berpenghasilan seperti itu,
istri idealnya menunjukkan jati diri sebagai mitra keluarga yang sejak
dini memerankannya menjadi penentu “surga” dalam kehidupan domestik
maupun publiknya.
Dalam ranah domestik, istri bisa menemani atau mendampingi suami
untuk mendialogkan peran-peran secara objektif, normal, dan jujur di
rumah, termasuk besaran pendapatan riil yang diperoleh suaminya.
Sementara dalam ranah publik, istri ikut memerankan diri saat berkumpul
dengan para istri elemen struktural lainnya untuk bersama-sama mencegah
atau memonitor suaminya dari kemungkinan (kecenderungan) melakukan
penyimpangan kekuasaan.
Kalau istri bisa memaksimalkan perannya, maka kinerja aparat
penegakan hukum yang selama ini dinilai oleh publik tidak cukup ampuh
untuk melawan korupsi atau bahkan dituding menjadi biang kerok maraknya
korupsi, dapat dimainkan oleh istri. Kaum hawa ini akan menunjukkan
perannya sebagai “pengawal” domestik yang membuat suaminya kecil nyali
melakukan penyimpangan kekuasaan.
Editor: IC
Sumber: Surya Online, 14/4/10
Sumber: Surya Online, 14/4/10
0 komentar:
Posting Komentar